Jokowi Menentang Peraturan Presiden Yang Dia Tandatangani Sendiri


LihatDulu.info - Presiden Joko meyakini pertumbuhan ekonomi Indonesia pada semester kedua 2015 mulai bulan September akan meroket. “Mulai agak meroket September, Oktober. Nah, pas November, itu bisa begini [sambil tangannya menunjuk ke atas],” kata Joko di Istana Bogor, Jawa Barat, Rabu (5/8).

Sebelumnya, pada Senin lalu (3/8), Joko juga mencanangkan “Gerakan Peningkatan Ekspor 3X Lipat”  di Makassar, Sulawesi Selatan. Menurut ekonom dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, gerakan itu hanya mimpi.

“Optimisme sah-sah saja. Saya juga sangat ingin perekonomian Indonesia maju dan ekspor terpacu sehingga nilai tukar rupiah tidak merosot terus menerus. Masalahnya, ini mengurus perekonomian negara, bukan obral janji seperti di masa kampanye lagi. Segala sesuatu harus akuntabel dan kredibel, berdasarkan proyeksi atau prediksi yang terukur, karena target membawa konsekuensi pada program kerja dan instrumen kebijakan yang harus dipersiapkan serta termanifestasikan dalam pos anggaran di APBN,” tulis Faisal Basri di blog-nya.

Dengan target itu, menaikkan nilai ekspor tiga kali lipat, berarti ekspor Indonesia dalam lima tahun (2015-2019) naik sebesar 200%. Mungkinkah?

Mari kita lihat data yang dibeberkan Faisal Basri.

Tahun 2014, ekspor total senilai US$ 176,3 miliar, terdiri dari nonmigas US$ 146 miliar dan migas US$ 30,3 miliar. Jika ekspor naik tiga kali lipat pada tahun tahun 2019 berarti nilai ekspor total harus mencapai US$ 528,9 miliar. Kalau kenaikan ekspor nonmigas dan migas naik dengan kecepatan yang sama, masing-masing 200%, ekspor nonmigas pada tahun 2019 harus mencapai US$ 438 miliar dan ekspor migas US$ 90,9 miliar.

“Untuk mencapai target, ekspor total harus naik 24,6 persen rata-rata setahun. Ekspor migas hampir pasti tak bisa naik. Katakanlah ekspor migas hanya mandek di tingkat 2014, maka ekspor nonmigas harus lebih digenjot, harus naik 28 persen rata-rata setahun. Padahal, data terbaru menunjukkan, selama tahun 2015 (Januari-Mei), ekspor boro-boro naik, justru sebaliknya, terus melorot lebih dalam, pertumbuhannya minus 11,9 persen. Kemerosotan ekspor sudah memasuki tahun keempat dan dialami oleh produk nonmigas maupun migas,” kata Faisal.

Menengok ke belakang, perkembangan ekspor Indonesia selama 2008-2013 sebenarnya tergolong lumayan bagus dibandingkan dengan negara-negara pengekspor 30 besar, sehingga peringkat Indonesia naik dari ke-31 pada 2008 menjadi ke-27 pada 2013. Selama kurun waktu lima tahun itu ekspor Indonesia naik 24,5%, tapi sangat jauh lebih rendah dari target kenaikan 2015-2019 yang sebesar 200%.

Dalam rentang waktu yang sama, peningkatan ekspor tertinggi dinikmati India, yaitu sebesar 74,9%. Itu pun sangat rendah dibandingkan target pemerintah Indonesia yang 200%. “Target pemerintah semakin terasa ganjil karena negara-negara top-30 hampir tanpa kecuali mengandalkan ekspor manufaktur, sedangkan ekspor Indonesia masih sangat didominasi oleh komoditas primer yang harganya sangat bergejolak tajam seperti roller coaster,” kata Faisal.

Diungkapkan Faisal, ekspor tidak bisa serta merta naik. “Ekspor adalah hasil dari produksi yang tidak dikonsumsi di dalam negeri. Kalau produksi [produk domestik bruto] sedang loyo dan nilai nominalnya [bukan harga konstan] hanya naik belasan persen sekalipun, ekspor tak bisa ditingkatkan dua kali lipat dari peningkatan PDB. Bukankah konsumsi domestik juga naik?” ujar Faisal.

Dalam rentang waktu yang panjang, 1980 sampai 2014, Faisal menunjukkan data rata-rata pangsa ekspor barang dan jasa dalam PDB relatif stabil, peran ekspor dalam PDB sebesar 28,6%. “Dalam enam tahun terakhir justru terjadi penurunan. Kalaupun naik, sulit membayangkan kenaikan drastis. Hanya sekali terjadi kenaikan luar biasa, yaitu pada tahun 1998, ketika Indonesia mengalami krisis terburuk. Kenaikan tajam terjadi karena pertumbuhan eknomi merosot sampai 13 persen dan ekspor naik tajam karena nilai tukar rupiah terjun bebas. Sekarang, walaupun kurs sudah bertengger di aras Rp 13.492 per dollar AS—terendah sejak 1998—ekspor tetap saja lunglai,” katanya.

Ada lagi keanehan dengan gerakan genjot ekspor tiga kali lipat. “Entah dari mana datangnya angka itu,” ujar Faisal.

Di dokumen resmi pemerintah, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019, target pertumbuhan ekspor nonmigas hanya 1 digit untuk 2015-16 dan 2 digit untuk 2017-1019. Perinciannya: 8,0 persen (2015), 9,9 persen (2016), 11,9 persen (2017), 13,7 persen (2018), dan 14,3 persen (2019).

RPJM tersebut sudah diberlakukan dengan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015. “Apakah presiden tidak sadar bahwa pencanangan itu bertetangan dengan perpres yang ditandatanganinya sendiri? Kalau tiga kali lipat tercantum dalam Rencana Strategis Kementerian Perdagangan 2015-2019, lantas apa gunanya RPJM yang telah dibuat dengan susah payah dan hasil dari proses penggodokan bertahun-tahun?” kata Faisal.

Baca Juga:

  1. Jokowi: Kalau Masih Ada Yang Ragukan Pembangunan, Saya Tunjukkan Hasilnya
  2. 1 Dollar Ke Rupiah Naik 13.500, Menkeu: Bukan Tanggung Jawab Pemerintah
  3. Harga Minyak Dunia Turun Pesat, Kenapa Di Indonesia Tidak?
  4. Kata Jokowi Indonesia Adalah Negara Pemegang Masa Depan Dunia

Related Posts :

0 Response to "Jokowi Menentang Peraturan Presiden Yang Dia Tandatangani Sendiri"

Post a Comment